Anak Kecil Ini Menyumbang Semua Uang Celengannya Untuk Korban Bencana
Di tengah keramaian lampu kota Jakarta, di antara suara klakson yang bersahutan dan laju kendaraan yang tak pernah berhenti, ada seorang bocah kecil yang setiap malam berdiri di perempatan jalan. Tangannya menggenggam erat tali-tali balon warna-warni, matanya menatap kendaraan yang melambat dengan harap. Usianya baru sembilan tahun. mg4d Namanya Rangga.
Rangga bukan anak yang seharusnya berada di jalanan. Tapi keadaan berkata lain. Ayahnya sudah lama tiada, dan ibunya menderita penyakit paru-paru akut. Setiap malam, Rangga menjajakan balon agar bisa membeli obat untuk ibunya dan sedikit makanan untuk mengisi perut mereka. Ia tidak meminta-minta. Ia bekerja—dengan balon-balon yang ringan, tapi beban di hatinya berat sekali.
Mengharukan: Anak Kecil dengan Beban Dewasa
Banyak pengendara hanya memandang sekilas. Sebagian menutup kaca jendela. Ada yang memberi, ada yang mencibir. Tapi Rangga tetap tersenyum. “Balon, Pak… Ibu… Beli satu, untuk anak di rumah,” katanya dengan suara kecil. Tak pernah memaksa. Tak pernah marah.
Di rumah kecilnya yang terletak di pinggir kali, Rangga tidur di lantai bersama ibunya. Kadang tanpa makan malam, hanya air putih. Tapi tiap pagi ia tetap bangun, merapikan seragam sekolahnya yang sudah memudar warnanya. Ia masih sekolah. Ia masih bermimpi. Ia ingin menjadi dokter, agar bisa menyembuhkan ibunya.
Namun mimpi itu seperti bintang di langit bagi Rangga: indah, tapi jauh dan nyaris mustahil diraih. Ia tahu, biaya sekolah tinggi. Tapi ia tidak menyerah.
Menggugah: Pertemuan yang Mengubah Segalanya
Satu malam, saat hujan mengguyur deras, Rangga tetap berdiri di perempatan. Basah kuyup, tapi tetap menawarkan balonnya. Seorang wanita berhenti, membuka kaca mobilnya, dan bertanya, “Kenapa kamu di sini? Ini sudah malam, Nak.”
“Harus jualan, Bu. Buat beli obat Mama,” jawab Rangga lirih.
Wanita itu bernama Ibu Ratna, seorang dokter dan relawan kesehatan. Ia menatap mata Rangga dan melihat sesuatu yang berbeda: tekad, kejujuran, dan harapan. Esok harinya, Ibu Ratna datang ke rumah Rangga. Ia membawa makanan, obat, dan satu tawaran: “Kalau kamu serius mau jadi dokter, Ibu bantu. Tapi kamu harus belajar sungguh-sungguh.”
Hari itu menjadi titik balik hidup Rangga.
Menginspirasi: Dari Perempatan ke Kampus Kedokteran
Dengan bantuan Ibu Ratna, Rangga pindah ke rumah singgah anak jalanan. Ia tidak perlu lagi menjual balon tiap malam. Ia bisa belajar dengan tenang. Tapi perjuangan tidak berhenti di situ. Rangga sadar, banyak anak lain yang lebih pintar, lebih mampu, lebih beruntung. Tapi ia tidak menyerah.
Ia belajar siang malam, kadang dengan air mata, kadang dengan rasa lapar. Ia ikut lomba esai, olimpiade sains, dan pelatihan relawan. Ia terus membuktikan bahwa dirinya layak dibantu.
Ketika SMA, Rangga diterima sebagai siswa berprestasi. Dan pada tahun yang tak akan pernah ia lupakan, ia lulus SNMPTN dan diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dunia seakan berhenti sejenak. Bocah penjual balon itu… kini menjadi mahasiswa kedokteran.
Ibunya menitikkan air mata. “Bapakmu pasti bangga,” katanya pelan.
Menghebohkan: Kisahnya Viral dan Menginspirasi Jutaan Orang
Saat Rangga mengenakan jas putih pertamanya, seorang temannya mengunggah kisah hidupnya ke media sosial. Tak disangka, cerita itu viral. Jutaan orang membagikan dan memberi komentar. Banyak yang meneteskan air mata. Banyak yang terinspirasi.
Media mulai meliput. Rangga diwawancarai oleh televisi nasional. “Saya bukan siapa-siapa,” katanya merendah. “Saya hanya anak kecil yang ingin menyembuhkan ibunya.”
Kisah Rangga mengubah cara orang memandang anak jalanan. Di balik kotoran, di balik keringat dan debu jalanan, ada jiwa-jiwa yang mulia. Yang tidak memilih untuk lahir miskin, tapi memilih untuk tetap bermimpi dalam kemiskinan.
Bahkan, sejumlah yayasan tergerak untuk membuat beasiswa khusus bagi anak-anak jalanan. Semua karena satu hal: karena ada satu anak yang tidak menyerah, meski hidup berkali-kali menjatuhkannya.
Akhir yang Menghangatkan Hati
Lima tahun berlalu. Rangga kini resmi menjadi dokter umum. Ia mengabdi di puskesmas daerah terpencil di Nusa Tenggara Timur. Ia tidak memilih rumah sakit besar. Ia tidak tertarik pada gaji tinggi. Ia memilih tempat yang dulu seperti rumahnya: penuh kekurangan, tapi juga penuh harapan.
Ia membagikan obat, tapi juga semangat. Ia menyapa pasien dengan lembut, dan selalu menyelipkan kata-kata yang menenangkan. Banyak pasien yang menangis setelah ditangani olehnya, bukan karena sakit, tapi karena merasa dihargai.
Dan setiap kali ia melihat balon warna-warni, ia terdiam sejenak. Teringat masa kecilnya. Teringat hujan malam itu. Teringat ibunya, yang kini sudah tenang di alam lain.
“Saya dulu menjual balon, sekarang saya menyebar harapan,” ucapnya pada satu sesi wawancara di sebuah stasiun TV. “Hidup saya mungkin dimulai dari jalanan, tapi saya tidak akan berhenti sampai jalan ini jadi jalan bagi banyak anak lain untuk bermimpi.”
Penutup
Kisah Rangga bukan sekadar cerita menyentuh. Ia adalah cermin bagi kita semua. Tentang bagaimana kemiskinan bukan akhir dari mimpi. Tentang bagaimana satu tindakan kecil—seperti membeli balon, atau sekadar bertanya “Kamu kenapa di sini?”—bisa mengubah hidup seseorang.
Ia mengajarkan bahwa keajaiban tidak selalu datang dalam bentuk spektakuler. Kadang, keajaiban adalah seorang anak kecil yang tetap tersenyum meski dunia terlalu kejam untuk usianya.
Mari belajar dari Rangga. Mari buka mata dan hati. Siapa tahu, di balik wajah lusuh anak jalanan yang kita temui hari ini, tersimpan seorang dokter, seorang pemimpin, atau bahkan pahlawan masa depan.